Dalam tiap bulan Muharam atau Syuro dalam
penanggalan Jawa, bukan hanya petani, nelayan pun menggelar ritual untuk
memohon berkah rezeki dan keselamatan. Waktu pelaksanaan petik laut tiap tahun
berubah karena berdasarkan penanggalan Qamariah dan kesepakatan pihak nelayan.
Biasanya digelar saat bulan purnama, karena nelayan tidak melaut, mengingat
pada saat itu terjadi air laut pasang.
Di Muncar ( sekitar 35 kilometer dari kota
Banyuwangi ), ritual ini berkembang setelah kehadiran warga Madura yang
terkenal sebagai pelaut. Tak mengherankan, jika petik laut selalu dipenuhi
ornamen suku Madura. Salah satunya, seragam pakaian Sakera, baju hitam dan
membawa clurit, simbol kebesaran warga Madura yang pemberani. Bagi nelayan
Muncar, petik laut adalah gawe besar yang tidak boleh ditinggalkan. Hari yang
dipilih bulan purnama, tepat tanggal 15 di penanggalan Jawa.
Ritual diawali pembuatan sesaji oleh sesepuh
nelayan. Mereka adalah keturunan warga Madura yang sudah ratusan tahun
turun-temurun mendiami pelabuhan Muncar. Disiapkan perahu kecil ( perahu sesaji
) dibuat seindah mungkin mirip kapal nelayan yang biasa digunakan melaut. Pada
malam harinya, di tempat perahu untuk sesaji dipersiapkan dilakukan tirakatan.
Di beberapa surau atau rumah diadakan pengajian atau semaan sebelum perahu
sesaji dilarung ke laut.
Pada hari yang ditentukan, ratusan nelayan
berkumpul di rumah sesepuh adat sejak pagi. Mereka menggunakan baju khas Madura
sambil membawa senjata clurit. Menjelang siang, sesaji diarak menggunakan dokar
menuju pantai. Sepanjang iring-iringan, dua penari Gandrung ikut mendampingi.
Bunyi gamelan Gandrung mengalun indah.
Nelayan menari sambil mengacungkan senjata
cluritnya. Di depannya, dukun membawa abu kemenyan. Sambil melantunkan doa,
dukun menyebarkan beras kuning simbol tolak bala. Sebelum diberangkatkan,
kepala daerah diwajibkan memasang pancing emas di lidah kepala kambing. Ini
simbol permohonan nelayan agar diberi hasil ikan melimpah. Menjelang tengah
hari, iring-iringan perahu bergerak ke laut. Bunyi mesin diesel menderu
membelah ombak. Suara gemuruh lewat sound-system menggema di tiap perahu.
Iring-iringan berakhir di sebuah lokasi
berair tenang, dekat semenanjung Sembulungan. Kawasan ini sering disebut
Plawangan. Seluruh perahu berhenti sejenak. Dipimpin sesepuh nelayan, sesaji
pelan-pelan diturunkan dari perahu. Teriakan syukur menggema begitu sesaji jatuh
dan tenggelam ditelan ombak.
Begitu sesaji tenggelam, para nelayan
berebut menceburkan diri ke laut. Mereka berebut mendapatkan sesaji. Nelayan
juga menyiramkan air yang dilewati sesaji ke seluruh badan perahu. "Kami
percaya air ini menjadi pembersih malapetaka dan diberkati ketika melaut
nanti," kata Mat Roji, sesepuh nelayan Muncar.
Ritual petik laut wajib menghadirkan dua
penari Gandrung yang masih perawan. Konon, ini berkaitan ritual petik laut
pertama kali di Tanjung Sembulungan. Kala itu, seorang penari Gandrung mendadak
meninggal dan dimakamkan di pinggir pantai. Sejak itu, petik laut wajib
menghadirkan penari Gandrung. Memilih penari Gandrung yang berani ikut ke
tengah laut dan mendampingi sesaji tidak gampang dan melalui seleksi khusus.
Gandrung yang ikut mengarak sesaji hanya boleh sekali diundang. Tahun
berikutnya akan diganti Gandrung lain.
Di sepanjang perjalanan, di atas perahu
penari terus melenggang diiringi gamelan. Mereka melantunkan gending-gending
Using. Isinya ungkapan suka-cita perayaan petik laut. Puluhan nelayan yang
mengiringi gandrung ikut menari di atas perahu.
Biasanya sepulang pulang dari sembulungan
perahu nelayan yang akan mendarat di guyur dengan air laut yang di gambarkan
sebagai guyuran Shang Hyang Iwak, sebagai Dewi laut.
Selain di Muncar, nelayan di pantai
Grajagan, Pancer, dan Bulusan juga menggelar ritual petik laut pada
Muharam.
Komentar
Posting Komentar